BAB
II
KAJIAN
TEORI
Dua
orang yang terlibat percakapan disebut sebagai penutur dan petutur dalam
pecakapan. Mereka pada umumnya saling bekerja sama dalam percakapan. Pengertian
kerja sama ini maksudnya orang-orang yang terlibat percakapan biasanya diasumsikan sedang berusaha
menyampaikan ide, gagasan, maksud, berusaha membingungkan, menipu,
menyembunyikan informasi. Kerja sama adalah asumsi dasar dalam percakapan yang pada
prinsipnya memiliki ketentuan. Prinsip kerja sama ini merupakan salah satu
kajian dalam pragmatik.
A. Pragmatik
Leech (dalam
Rahardi, 2008: 48) menyatakan bahwa “Pragmatik merupakan bagian dari penggunaan
tata bahasa”. Lebih spesifik lagi Rahardi (2008: 49) mendefinisikan Pragmatik,
adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada
dasarnya mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia sangat ditentukan oleh
konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Dengan demikian, yang
dikaji dalam pragmatik adalah maksud penutur dalam menuturkan satuan bahasa
tertentu terhadap mitra tutur yang berkaitan dengan konteksnya.
Pragmatik merupakan
kajian mengenai makna tuturan yang terikat konteks. Dalam memahami tuturan,
inferensi terhadap tuturan yang didengar di dapat tidak hanya dari memahami
arti dari kata tetapi juga konteks yang melatarbelakangi tuturan tersebut. Oleh
karena itu, petutur atau pendengar akan mengerti maksud yang ingin disampaikan
oleh penutur atau pembicara. Hal ini sesuai dengan pendapat Yule (2006: 1)
“Pragmatik lebih berurusan dengan analisis terhadap apa yang dimaksudkan oleh
orang-orang dengan ujaran-ujaran mereka daripada apa yang mungkin dimaksudkan
oleh kata-kata atau frase-frase dalam ujaran-ujaran itu sendiri”. Pendapat
tersebut sejalan dengan Djajasudarma (2012: 95) “Pendekatan
pragmatik mempertimbangkan bahasa melalui konteksnya pada saat bahasa itu
digunakan, sebuah ekspresi bahasa dapat dipertimbangkan dari jenis konteksnya
(fisik, epistemik, linguistik, dan sosial)”.
B.
Prinsip Kerja Sama
Orang yang
melakukan percakapan adalah orang yang sedang melakukan kerja sama dalam
berkomunikasi. Kerja sama dalam tuturan ini dapat juga disebut konversasi.
Mengeani konvensasi ini menurut Djajasudarma (2012: 84)
menyatakan sebagai berikut.
Konversasi
dikaji secara pragmatik dalam tindak ujar melibatkan fungsi bahasa dalam
komunikasi. Di dalam konversasi diperlukan aktivitas keahlian yang tinggi,
karena partisipan dapat terdiri dari beberapa orang atau minimal dua orang
bergantian berbicara, setiap giliran menambah atau merespon apa yang dikatakan
atau dilakukan/dialami selama mendapat giliran.
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa konversasi yang dimaksud sama halnya dengan
prinsip kerja sama yang.
Prinsip kerja sama memiliki kaidahnya. “Grice
mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap
penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan” (Wijana dan Rohmadi, 2010: 42).
Sama halnya dengan yang diungkapkan Djajasudarma (2012: 84) Konversasi
mempunyai kaidah yang disebut maksim. Oleh itu, istilah tersebut sama-sama
mengarah pada kerja sama percakapan yang sering disebut prinsip kerja sama. Djajasudarma
(2012: 89) juga menyatakan “Beberapa syarat yang dianggap sebagai integritas
bahasa dalam konversasi adalah: (1) kejujuran dalam penggunaan bahasa, (2)
mempunyai fakta tentang apa yang dikatakan, dan (3) membuat apa yang dikatakan
itu relevan dengan konteks ujaran”. Prinsip kerja sama ini dijabarkan ke dalam
empat maksim, seperti apa yang diusulkan Grice (1981).
1.
Maksim
Kuantitas
“Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta
pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan
oleh lawan bicaranya” (Wijana dan Rohmadi, 2010: 42). Sejalan dengan pendapat
Yule (2006: 49) mengenai maksim kuantitas yang menyatakan bahwa “Buatlah
kontribusi Anda seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan”. Namun, Djajasudarma
(2012: 95) lebih menekankan lagi dengan menyebutkan mengenai syarat maksim
kuantitas adalah menuntut manusia harus berbicara seperlunya, dan berbicara
sebatas apa yang diperlukan, jangan bertele-tele, ada sumbangan informasi
sebatas yang diperlukan, jangan memberikan sumbangan infomasi yang lebih dari
yang diberikan. Dengan demikian, maksim kuantitas merupakan kaidah untuk tidak
berbicara berlebihan, berte-tele, dan memberikan informasi sesuai dengan
kebutuhan.
2.
Maksim
Kualitas
Wijana dan Rohmadi (2010: 45) mengatakan “Maksim
percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada
bukti-bukti yang memadai”. Pernyataan itu sejalan dengan Djajasudarma (2012:
92) “Sebagai inti dari kaidah konversasi yang mengatur konversasi dengan
ketentuan: (1) jangan diujarkan bila tidak benar, dan (2) jangan diujarkan bila
kekurangan data yang akurat”. Jangan katakana
sesuatu yang anda yakini salah, jangan katakana sesuatu yang anda tidak
memiliki bukti pendukung yang memadai (Yule (2006: 49). Djajasudarma (2012: 95)
menyatakan maksim kualita ini “Membimbing kita ke arah (1) jangan bicara kalau
faktanya tidak yakin benar, dan (2) data yang dikatakan harus lengkap dan
akurat”. Dengan demikian, maksim kualitas mengenai kebenaran tuturan. Tidak
boleh mengandung kesalahan dan kebohongan.
3.
Maksim
Relevansi
“Inti
dari semua maxims adalah maxims relevan yang benar-benar menyangkut
spacio-temporal pembicaraan. Dalam hal ini tentu pusat perhatiannya pada
“prinsip kooperatif”, karena ada penyesuaian dengan situasi ujaran”
(Djajasudarma, 2012: 95). Sementara itu, Wijana dan Rohmadi (2010: 46)
menyatakan Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Djajasudarma (2012: 92)
menekankan bahwa “Maxims relevans (Maxim
of Relation/Relevance) disebut juga maxim super yang merupakan inti/pusat
dari urutan konversasi (keterbatasan memilih topik secara acak terjadi karena
maxim relevans)”. Dengan demikian, posisi maksim relevan ini sangat penting
dalam percakapan karena inti dari prinsip kerja sama dalam tercapainya
keberhasilan percakapan adalah maksim relevan. Maksim yang mengharuskan tutur
ataupun petutur memberikan kontribusi yang relevan dengan yang yang dibicarakan.
4.
Maksim
Cara
Maksim cara merupakan maksim yang mengharuskan
tuturan jelas dan tidak memiliki kekaburan atau ambiguitas. Wijana dan Rohmadi
(2010: 47) menjelaskan “Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta
percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak
berlebih-lebihan, serta runtut”. Bersikaplah cermat, hindari kekaburan
ekspresi, hindari ambiguitas, berbicaralah seacara sistematis (Yule, 2006: 49).
Djajasudarma (2012: 92) menyatakan bahwa maxims kecaraan dengan syarat: (1)
hindari ekspresi yang tidak jelas, (2) hindari ketaksaan (ambiguity), (3) harus berani, (4) perhatikan urutan ujaran.
Selanjutnya,
Djajasudarma (2012: 95-96) kembali menjelaskan sebagai berikut.
Maxims manner ‘kecaraan’ yang memandu
kearah: (a) menghindari ekspresi yang tidak jelas, (b) menghindari ketaksaan
agar isi konversasi dapat ditangkap peserta ujaran, (c) ada keberanian yang
ditunjang oleh data yang kuat, untuk berani orang sudah mempersiapkan data yang
kuat; (d) ekpresi harus dinyatakan dengan susunan/urutan unsur bahasa yang
benar (kaidah gramatika) dan diksi yang baik.
Dengan demikian,
maksim cara adalah prinsip kerja sama yang harus dipenuhi oler penutur agar
tuturan tidak mengandung ambiguitas yang mengakibatkan mitra tutur tidak
mengerti. Maksim cara ini juga mengharuskan untuk menghindari kekaburan ekpresi
dalam tuturan.
Grice
(1975: 47-48) ( dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 49-50) membuat analogi bagi
kategori-kategori maksim percakapannya sebagai berikut.
1.
Maksim
kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan
kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan.
Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat orang, saya
mengharapkan anda mengambilkan saya empat bukannya dua atau enam.
2.
Maksim
kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh, bukannya
sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak
mengharapkan anda member saya garam. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak
mengharapkan anda mengambilkan sendok-sendokan, atau sendok karet.
3.
Maksim
relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang
saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan
adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain
oven walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.
4.
Maksim
cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya
secara rasional.
Bila terjadi penyimpangan ada
implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila
implikasi itu tidak adam maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan
kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat
diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara
dan lawan biacara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.
DAFTAR
RUJUKAN
Djajasudarma,
Fatimah. 2012. Wacana dan Pragmatik.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mahsun.
2012. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Teknik. Jakarta:
Rajawali Pers.
Nadar,
F.X. 2013. Pragmatik dan Penelitian
Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wijana,
I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis
Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule,
George. 1998. Pragmatik. Terjemahan
Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.