Minggu, 18 Januari 2015

PRINSIP KERJA SAMA (BAB II KAJIAN TEORI: PENELITIAN)




BAB II

KAJIAN TEORI

          Dua orang yang terlibat percakapan disebut sebagai penutur dan petutur dalam pecakapan. Mereka pada umumnya saling bekerja sama dalam percakapan. Pengertian kerja sama ini maksudnya orang-orang yang terlibat percakapan  biasanya diasumsikan sedang berusaha menyampaikan ide, gagasan, maksud, berusaha membingungkan, menipu, menyembunyikan informasi. Kerja sama adalah asumsi dasar dalam percakapan yang pada prinsipnya memiliki ketentuan. Prinsip kerja sama ini merupakan salah satu kajian dalam pragmatik.

A.   Pragmatik

Leech (dalam Rahardi, 2008: 48) menyatakan bahwa “Pragmatik merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa”. Lebih spesifik lagi Rahardi (2008: 49) mendefinisikan Pragmatik, adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Dengan demikian, yang dikaji dalam pragmatik adalah maksud penutur dalam menuturkan satuan bahasa tertentu terhadap mitra tutur yang berkaitan dengan konteksnya.

Pragmatik merupakan kajian mengenai makna tuturan yang terikat konteks. Dalam memahami tuturan, inferensi terhadap tuturan yang didengar di dapat tidak hanya dari memahami arti dari kata tetapi juga konteks yang melatarbelakangi tuturan tersebut. Oleh karena itu, petutur atau pendengar akan mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh penutur atau pembicara. Hal ini sesuai dengan pendapat Yule (2006: 1) “Pragmatik lebih berurusan dengan analisis terhadap apa yang dimaksudkan oleh orang-orang dengan ujaran-ujaran mereka daripada apa yang mungkin dimaksudkan oleh kata-kata atau frase-frase dalam ujaran-ujaran itu sendiri”. Pendapat tersebut sejalan dengan Djajasudarma (2012: 95) “Pendekatan pragmatik mempertimbangkan bahasa melalui konteksnya pada saat bahasa itu digunakan, sebuah ekspresi bahasa dapat dipertimbangkan dari jenis konteksnya (fisik, epistemik, linguistik, dan sosial)”.

B.   Prinsip Kerja Sama

Orang yang melakukan percakapan adalah orang yang sedang melakukan kerja sama dalam berkomunikasi. Kerja sama dalam tuturan ini dapat juga disebut konversasi. Mengeani konvensasi ini menurut Djajasudarma (2012: 84) menyatakan sebagai berikut.

Konversasi dikaji secara pragmatik dalam tindak ujar melibatkan fungsi bahasa dalam komunikasi. Di dalam konversasi diperlukan aktivitas keahlian yang tinggi, karena partisipan dapat terdiri dari beberapa orang atau minimal dua orang bergantian berbicara, setiap giliran menambah atau merespon apa yang dikatakan atau dilakukan/dialami selama mendapat giliran.

     Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa konversasi yang dimaksud sama halnya dengan prinsip kerja sama yang.

Prinsip kerja sama memiliki kaidahnya. “Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan” (Wijana dan Rohmadi, 2010: 42). Sama halnya dengan yang diungkapkan Djajasudarma (2012: 84) Konversasi mempunyai kaidah yang disebut maksim. Oleh itu, istilah tersebut sama-sama mengarah pada kerja sama percakapan yang sering disebut prinsip kerja sama. Djajasudarma (2012: 89) juga menyatakan “Beberapa syarat yang dianggap sebagai integritas bahasa dalam konversasi adalah: (1) kejujuran dalam penggunaan bahasa, (2) mempunyai fakta tentang apa yang dikatakan, dan (3) membuat apa yang dikatakan itu relevan dengan konteks ujaran”. Prinsip kerja sama ini dijabarkan ke dalam empat maksim, seperti apa yang diusulkan Grice (1981).

1.     Maksim Kuantitas

“Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya” (Wijana dan Rohmadi, 2010: 42). Sejalan dengan pendapat Yule (2006: 49) mengenai maksim kuantitas yang menyatakan bahwa “Buatlah kontribusi Anda seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan”. Namun, Djajasudarma (2012: 95) lebih menekankan lagi dengan menyebutkan mengenai syarat maksim kuantitas adalah menuntut manusia harus berbicara seperlunya, dan berbicara sebatas apa yang diperlukan, jangan bertele-tele, ada sumbangan informasi sebatas yang diperlukan, jangan memberikan sumbangan infomasi yang lebih dari yang diberikan. Dengan demikian, maksim kuantitas merupakan kaidah untuk tidak berbicara berlebihan, berte-tele, dan memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan.

2.     Maksim Kualitas

Wijana dan Rohmadi (2010: 45) mengatakan “Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai”. Pernyataan itu sejalan dengan Djajasudarma (2012: 92) “Sebagai inti dari kaidah konversasi yang mengatur konversasi dengan ketentuan: (1) jangan diujarkan bila tidak benar, dan (2) jangan diujarkan bila kekurangan data yang akurat”.  Jangan katakana sesuatu yang anda yakini salah, jangan katakana sesuatu yang anda tidak memiliki bukti pendukung yang memadai (Yule (2006: 49). Djajasudarma (2012: 95) menyatakan maksim kualita ini “Membimbing kita ke arah (1) jangan bicara kalau faktanya tidak yakin benar, dan (2) data yang dikatakan harus lengkap dan akurat”. Dengan demikian, maksim kualitas mengenai kebenaran tuturan. Tidak boleh mengandung kesalahan dan kebohongan.

3.     Maksim Relevansi

“Inti dari semua maxims adalah maxims relevan yang benar-benar menyangkut spacio-temporal pembicaraan. Dalam hal ini tentu pusat perhatiannya pada “prinsip kooperatif”, karena ada penyesuaian dengan situasi ujaran” (Djajasudarma, 2012: 95). Sementara itu, Wijana dan Rohmadi (2010: 46) menyatakan Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Djajasudarma (2012: 92) menekankan bahwa “Maxims relevans (Maxim of Relation/Relevance) disebut juga maxim super yang merupakan inti/pusat dari urutan konversasi (keterbatasan memilih topik secara acak terjadi karena maxim relevans)”. Dengan demikian, posisi maksim relevan ini sangat penting dalam percakapan karena inti dari prinsip kerja sama dalam tercapainya keberhasilan percakapan adalah maksim relevan. Maksim yang mengharuskan tutur ataupun petutur memberikan kontribusi yang relevan dengan yang yang dibicarakan.

4.     Maksim Cara

Maksim cara merupakan maksim yang mengharuskan tuturan jelas dan tidak memiliki kekaburan atau ambiguitas. Wijana dan Rohmadi (2010: 47) menjelaskan “Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut”. Bersikaplah cermat, hindari kekaburan ekspresi, hindari ambiguitas, berbicaralah seacara sistematis (Yule, 2006: 49). Djajasudarma (2012: 92) menyatakan bahwa maxims kecaraan dengan syarat: (1) hindari ekspresi yang tidak jelas, (2) hindari ketaksaan (ambiguity), (3) harus berani, (4) perhatikan urutan ujaran.

Selanjutnya, Djajasudarma (2012: 95-96) kembali menjelaskan sebagai berikut.

Maxims manner ‘kecaraan’ yang memandu kearah: (a) menghindari ekspresi yang tidak jelas, (b) menghindari ketaksaan agar isi konversasi dapat ditangkap peserta ujaran, (c) ada keberanian yang ditunjang oleh data yang kuat, untuk berani orang sudah mempersiapkan data yang kuat; (d) ekpresi harus dinyatakan dengan susunan/urutan unsur bahasa yang benar (kaidah gramatika) dan diksi yang baik.



Dengan demikian, maksim cara adalah prinsip kerja sama yang harus dipenuhi oler penutur agar tuturan tidak mengandung ambiguitas yang mengakibatkan mitra tutur tidak mengerti. Maksim cara ini juga mengharuskan untuk menghindari kekaburan ekpresi dalam tuturan.

Grice (1975: 47-48) ( dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 49-50) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim percakapannya sebagai berikut.

1.     Maksim kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat orang, saya mengharapkan anda mengambilkan saya empat bukannya dua atau enam.

2.     Maksim kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh, bukannya sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan anda member saya garam. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan sendok-sendokan, atau sendok karet.

3.     Maksim relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.

4.     Maksim cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya secara rasional.

Bila terjadi penyimpangan ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak adam maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan biacara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.









DAFTAR RUJUKAN
Djajasudarma, Fatimah. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT Refika Aditama.

Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Teknik. Jakarta: Rajawali Pers.

Nadar, F.X. 2013. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.

Yule, George. 1998. Pragmatik. Terjemahan Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.