Malam itu, kami sedang berjalan di pasar tradisional.
Ketika ingin keluar dari pasar, kami melihat seorang anak laki-laki duduk
dengan plastik yang kira-kira berukuran setengah meter. Lebarnya cukup untuk
dia duduk dan beberapa barang yang ia jual. Anak laki-laki itu menunduk sambil
membuka buku LKS dan buku tulisnya, serta pulpen di tangannya. Dia sedang
belajar.
Kami melihatnya, dan ini luar biasa. Sambil terus
berjalan keluar kami membicarakannya. Membicarakan dia yang masih kecil tetapi
berjualan dan barang ia jual hanya buku mewarna, mainan, dan stiker. Bahkan semua
itu dalam jumlah sedikit. Di tengah perjalan menuju parkiran sepeda motor terbesit
di otak untuk membeli barang jualannya. Akhirnya
kami kembali lagi masuk ke pasar. Saat itu sudah ada seorang anak laki-laki
muda mulai memilih barangnya. Kami pun berdiri di samping anak laki-laki muda
itu. Aku mendengar percakapan mereka.
“Sekolahnya
kelas berapa?”
“Kelas
VI SD”
“Berapa
ini semua?”
“Rp10.000”
“Ini”
(sambil menyerahkan uang selembar Rp20.000) “Ambil
semuanya” (sambung anak laki-laki muda itu)
“A?
terima kasih”
Kemudian pergilan anak laki-laki muda itu. Kami terus
memilih, setelah memilih beberapa barang, aku mulai bercakap dengannya.
“Berapa?”
Anak kecil itu mulai menghitung. “Rp12.000”
Aku menyerahkan uang Rp10.000 dua lembar. Anak itu
membuka tasnya untuk mencari uang kembalian. Ku lihat hanya ada uang Rp20.000an
yang diberikan oleh orang sebelum aku tadi.
Aku berkata, “Rp5.000 saja kembaliannya tidak
apa-apa”
“Tidak ada kembaliannya” anak itu menatapku.
“Ya, sudah tidak usah”
“Aku akan menukarkan uang dulu”
Belum sempat aku menyahut anak itu langsung berlari
pada pedagang lain untuk menukarkan uang. Adikku malah marah denganku.
“Gak usah ditunggu ka, ayo kita pergi saja. Berikan saja
uangnya”
“Tunggu saja” aku keras menentangnya.
Tak lama, anak kecil itu datang menyerahkan uang
Rp8.000 bersama senyumnya menatapku. sambil menerima uang itu, aku bertanya ia
sekolah di mana dan ia sambil kaku menjawab.
Menunduk tersenyum. Setelah itu, berlalulah kami pergi. Kembali, adikku marah
karena aku mengambil uang kembalian yang diserahkan anak itu. Sambil tersenyum
tanganku merangkul pundak adikku sambil berjalan.
“Ingat ya dek, tidakkah kamu melihat semangatnya. Ingatlah
tidak semua orang ingin dikasihani. Kita tidak tahu perasaannya apakah ia
tersinggung atau tidak jika kita memberinya karena ia berjualan, artinya ia
berjuang untuk mendapatkan uang. Bukan mengemis. Jika ia ingin dikasihani,
cukup menjadi pengemis dan tidak perlu berjualan. Padahal barang yang ia jual
hanya barang yang murah bahkan hanya sedikit. Itulah mengapa ia langsung
berlari untuk menukarkan uang”
Anak kecil itu seorang pejuang, bukan seorang
pengemis. Ia bekerja keras bukan memintan kasihani.
Itulah alasan mengapa rasa ibaku berubah menjadi
bangga. Tak hanya itu, aku bahkan tersadar…