Rabu, 19 Agustus 2015

ANAK KECIL ITU SEORANG PEJUANG


Malam itu, kami sedang berjalan di pasar tradisional. Ketika ingin keluar dari pasar, kami melihat seorang anak laki-laki duduk dengan plastik yang kira-kira berukuran setengah meter. Lebarnya cukup untuk dia duduk dan beberapa barang yang ia jual. Anak laki-laki itu menunduk sambil membuka buku LKS dan buku tulisnya, serta pulpen di tangannya. Dia sedang belajar.

Kami melihatnya, dan ini luar biasa. Sambil terus berjalan keluar kami membicarakannya. Membicarakan dia yang masih kecil tetapi berjualan dan barang ia jual hanya buku mewarna, mainan, dan stiker. Bahkan semua itu dalam jumlah sedikit. Di tengah perjalan menuju parkiran sepeda motor terbesit di otak untuk membeli barang  jualannya. Akhirnya kami kembali lagi masuk ke pasar. Saat itu sudah ada seorang anak laki-laki muda mulai memilih barangnya. Kami pun berdiri di samping anak laki-laki muda itu. Aku mendengar percakapan mereka.

“Sekolahnya kelas berapa?”
“Kelas VI SD”
“Berapa ini semua?”
“Rp10.000”
“Ini” (sambil menyerahkan uang selembar Rp20.000) “Ambil semuanya” (sambung anak laki-laki muda itu)
“A? terima kasih”

Kemudian pergilan anak laki-laki muda itu. Kami terus memilih, setelah memilih beberapa barang, aku mulai bercakap dengannya.
“Berapa?”
Anak kecil itu mulai menghitung. “Rp12.000”
Aku menyerahkan uang Rp10.000 dua lembar. Anak itu membuka tasnya untuk mencari uang kembalian. Ku lihat hanya ada uang Rp20.000an yang diberikan oleh orang sebelum aku tadi.
Aku berkata, “Rp5.000 saja kembaliannya tidak apa-apa”
“Tidak ada kembaliannya” anak itu menatapku.
“Ya, sudah tidak usah”
“Aku akan menukarkan uang dulu”
Belum sempat aku menyahut anak itu langsung berlari pada pedagang lain untuk menukarkan uang. Adikku malah marah denganku.
“Gak usah ditunggu ka, ayo kita pergi saja. Berikan saja uangnya”
“Tunggu saja” aku keras menentangnya.

Tak lama, anak kecil itu datang menyerahkan uang Rp8.000 bersama senyumnya menatapku. sambil menerima uang itu, aku bertanya ia sekolah di mana dan ia sambil kaku  menjawab. Menunduk tersenyum. Setelah itu, berlalulah kami pergi. Kembali, adikku marah karena aku mengambil uang kembalian yang diserahkan anak itu. Sambil tersenyum tanganku merangkul pundak adikku sambil berjalan.
“Ingat ya dek, tidakkah kamu melihat semangatnya. Ingatlah tidak semua orang ingin dikasihani. Kita tidak tahu perasaannya apakah ia tersinggung atau tidak jika kita memberinya karena ia berjualan, artinya ia berjuang untuk mendapatkan uang. Bukan mengemis. Jika ia ingin dikasihani, cukup menjadi pengemis dan tidak perlu berjualan. Padahal barang yang ia jual hanya barang yang murah bahkan hanya sedikit. Itulah mengapa ia langsung berlari untuk menukarkan uang”

Anak kecil itu seorang pejuang, bukan seorang pengemis. Ia bekerja keras bukan memintan kasihani.
Itulah alasan mengapa rasa ibaku berubah menjadi bangga. Tak hanya itu, aku bahkan tersadar…


Jumat, 14 Agustus 2015

Kembali

ingin kembali
kembali
kembali pada kesenangan yang lama tak dilakukan lagi
menulis
ya, menulis
kesenangan mengungkapkan perasaan dan pemikiran tanpa batas
sekarang.. berusaha kembali aktif untuk menulis