Uuuhhhh hhahhh haahhh akhhhhh... nafasku
tersengal, tanganku mengepal keras bergetar. Mataku membesar tajam menatap
tanah, basah keringat melumuri tubuhku, kembali ku keraskan genggamanku lebih
keras dan geram lagi, dan “buk buk buk” suara bola basket jatuh di lapangan,
menggelinding perlahan mendekati kakiku yang masih mengakar kuat di lapangan
basket belakang sekolah. Angin berhembus kencang membawa daun-daun mati berterbangan
lepas dari rantingnya, debu-debu tak kalah heboh menari-nari bersama irama angin
yang kencang membawa awan gelap berarak menutupi cahaya mentari sore itu.
Aku tidak tahu sejak kapan hujan melambangkan
kesedihan, yang jelas sekarang aku benar-benar sedih. Tubuhku sekarang tidak
hanya dibasahi keringat, tetapi basah kuyup diguyur deras hujan. Suara petir
menyambar-nyambar, angin berputar-putar bersama deras hujan, tapi aku tetap
belum beranjak menjauhi lapangan basket. Nafasku masih tersengal, tangan
mengepal geram, mataku bahkan memerah tajam. Tubuhku gemetar. Seiring deras
hujan itu aku menengadah dan mulai menganga sambil berucap
“AAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…”.
Puas berteriak ku raih bola basket dan tanpa
ku drible ku lempar asal ke ring basket. “kenapaaaaa ????!!!!! kenapa aku harus
bertemu dengannya… sudah kukatakan aku tidak ingin bertemu dengannya ..” suara
ku menggema seisi halaman belakang sekolah.
“GGGGllllRRRUUUMMMMMM” hanya suara guntur
yang menyahut teriakanku. Aku tertunduk, kemarahanku semakin membesar, seperti
ada gumpalan yang bersarang di dada, tertumpuk dan semakin besar. Bibir ku
gemetar, sesekali kugigit menahan dingin dan amarah dalam dada. Aku benar-benar
lelah menahan marah dalam hatiku sekarang hingga aku merasa sedih dan tak mampu
mengeluarkan air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar